Kamis, 30 Desember 2010

Tak Perlu Sombong …..

Tak Perlu Sombong …..

Di suatu pagi yg cerah, seorang cendekiawan ingin menikmati pemandangan laut dengan menyewa

sebuah perahu nelayan.

Setelah harga sewa disepakati, keduanya melaut. Melihat nelayan terus bekerja keras mendayung

perahu tanpa banyak bicara, sang cendekiawan bertanya :

“Apa bapak pernah belajar ilmu fisika tentang energi angin & matahari ?”

“Tidak” jawab si Nelayan.

Cendekiawan melanjutkan “Ah, jika demikian bapak telah kehilangan SEPEREMPAT peluang hidup”

Si Nelayan cuma mengangguk-angguk membisu.

“Apa bapak pernah belajar sejarah filsafat ?”.

“Belum pernah” jawab Si Nelayan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Si Cendekiawan melanjutkan “Ah, jika demikian bapak telah kehilangan SEPEREMPAT lagi peluang hidup”.

Si Nelayan kembali cuma mengangguk-angguk membisu.

“Apa bapak pernah belajar & bisa berkomunikasi dengan bahasa asing ?”.

“Tidak bisa” jawab Si Nelayan singkat.

“Aduh, jika demikian bapak total telah kehilangan TIGA PEREMPAT peluang hidup”

Tiba-tiba…angin kencang bertiup keras. Perahu yg mereka tumpangi pun oleng hampir terguling. Dengan

tenang Si Nelayan bertanya kepada Si Cendekiawan “Apa bapak pernah belajar berenang ?”

Dengan suara gemetar & muka pucat ketakutan, Si Cendikiawan menjawab : “Tidak pernah”

Si Nelayanpun berkata dengan santai : “Ah, jika demikian, bapak telah kehilangan SEMUA peluang hidup”

………

KESIMPULAN : Janganlah sombong & merasa lebih hebat dari orang lain. Nobody Is Perfect !

UNTUK ADIK KELASKU, GAYUS


(dikutip dari milis sebelah, semoga ada manfaatnya untuk kita semua, barakallah fiikum....Wassslm. Pramono Dewo)

UNTUK ADIK KELASKU, GAYUS
Oleh HERI PRABOWO
(Alumnus STAN 1996, penulis buku Catatan Harian Seorang Mafia Pajak)

Ada anekdot yang beredar saat reuni akbar Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara (STAN-Prodip) pada Oktober 2010. Yakni, anekdot tentang pemberian
award untuk sejumlah alumnus dengan berbagai kategori.
Kategori tersukses jatuh kepada Hadi Purnomo, Ketua BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan). Kategori karir tercepat diperuntukkan Haryono Umar, wakil
ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kategori terkontroversial
jatuh kepada M. Misbakhun, anggota DPR, inisiator hak angket Bank
Century yang akhirnya jadi tersangka kasus yang sama. Sedangkan kategori
terpopuler dipegang Gayus Tambunan. Dia menyingkarkan Helmi Yahya yang
jadi selebriti top. Gayus bahkan lebih populer daripada bosnya, M.
Tjiptardjo, Dirjen Pajak yang juga alumnus STAN.

Memiliki sejumlah kesamaan dengan tokoh populer ternyata cukup
menggelitik hati saya. Ada beberapa kesamaan saya dengan Gayus.
Sama-sama alumnus STAN-Prodip yang lantas terjerembap mafia pajak dan
berujung menghadapi proses hukum. Di usia yang sama, 30 tahun. Usia yang
seharusnya kita mulai untuk menapak puncak karir, tapi justru kami
terperosok dalam.

Saya tidak seberuntung Gayus, yang masih kaya walau hartanya Rp 100
miliar disita. Tapi Gayus juga tidak seberuntung saya. Dia bersusah
payah merintis karir di luar Jawa, sedangkan saya sejak awal ditempatkan
di kota besar (Surabaya).

Muda, berduit dan berkuasa. Itulah gambaran untuk kami, para mafia pajak. Meski hanya pegawai rendahan, toh
kami berperan besar atas urusan pajak sejumlah perusahaan. Sebab, kami
punya lobi. Bisa dibayangkan betapa kami sering memandang kecil sebuah
masalah. Sembrono dan ugal-ugalan. Bahkan saat kami telah ditahan, saya
ikut mencicipi fasilitas lebih di tahanan. Walau tidak seekslusif Tante
Ayin (Artalyta Suryani) dan kawan kawan, fasilitas itu juga dinikmati
pejabat tinggi, politisi, dan orang-orang kaya yang ditahan disana. Saya
berbangga. Saya bisa selevel dengan mereka. Kebanggaan yang semu di
tengah hujan cercaan.

Tidak heran Gayus dengan enteng keluar masuk rutan. Toh,
tahanan lain yang jabatannya jauh di atasnya melakukan hal serupa. Saya
yakin bahwa Gayus pun bangga melakukannya. Padahal, dia bukan mereka.
Uang boleh sama, tapi mereka cerdik, berpengalaman dan punya network luas. Gayus boleh bernyanyi, tapi mereka sekejap tiarap, lalu tertawa lagi.

Dengan latar belakang kurang beruntung secara ekonomi dan broken home,
Gayus telah berjuang untuk menjadi bernilai lebih. Tidak mudah bisa
duduk jadi mahasiswa STAN. Tidak mudah juga bisa lulus. Sebab, berlaku
sistem DO (dropout) yang ketat.

Kampus dipenuhi mahasiswa dari golongan menengah ke bawah. Kebanyakan
di antara mereka berasal dari desa-desa. Kesederhanaan selalu tampak.
Jangan heran jika ada seorang asisten dosen berangkat ke kampus dengan
naik sepeda mini yang juga cocok untuk anaknya. Kampus juga menjunjung
tinggi nilai-nilai kejujuran dan religiusitas. Masjid-masjid tidak hanya
dipenuhi mahasiswa sejak azan Subuh berkumandang. Tempat itu juga
dimakmurkan oleh berbagai kegiatan agama. Mulai mengajar TPA (taman
pendidikan Alquran) hingga diskusi keagamaan, semuanya dimotori
mahasiswa STAN. Lalu kenapa saya dan Gayus bisa lahir? Lalu, mengapa
kami bisa jadi pecinta kemewahan?

Pengaruh dimulai saat bertemu dengan para senior yang telah bekerja. Bertemu dengan rekan kerja dan atasan saat bekerja. Dengan gambling,
mereka gambarkan tempat basah dan tempat kering. Dengan nyata, mereka
jadi orang kaya baru. Semua terjadi begitu terbuka dan aman-aman saja.
Hanya segelintir yang bisa bertahan dengan idealisme masing-masing.
Sisanya lagi miskin karena tidak memeperoleh kesempatan.

Saat lulus STAN pada 2000, Gayus berjibaku di lahan kering Kalimantan. Setiap mudik ke Jakarta, dia dan rekan-rekan lain ngiler
kala melihat teman-teman seangkatannya begitu makmur. Membeli mobil
seperti membeli gorengan. Jakarta adalah surga para mafia pajak.
Perusahaan besar walau berkantor di daerah harus melaporkan pajak ke
Jakarta. Besarnya putaran uang berbanding lurus dengan gemuknya gurita
korupsi.

Maka, saat bertugas di Jakarta, Gayus tidak menyia-nyiakan
kesempatan. Gayus hanya mencontoh apa yang dilihat sehari-hari di
kantornya. Dia beruntung. Puluhan miliar rupiah dia kumpulkan dalam
sekejap. Keserakahan yang ada dalam diri manusia pada umumnya, tapi
tidak manusiawi.

Gayus pasti juga mendengar gosip yang pernah saya dengar. Yakni,
sejumlah pejabat pajak pernah diperiksa karena menerima aliran dana
tidak wajar di rekening dan umumnya mereka aman-aman saja. Maka, wajar
Gayus percaya diri. Tapi, takdir bicara lain. Dia diadili lagi dengan
tumpukan dakwaan, Seakan hanya dialah mafia pajak di negeri ini.

Pada masa genderang perang melawan korupsi ditabuh siapa pun,
termasuk para mafia hukum dan koruptor, wajar tekanan media menghantam.
Wajar olok-olok sarkastis menghajar bukan hanya kami, tapi juga
keluarga. Bahkan, anak-anak yang masih suci. Stres sehingga berujung
linangan air mata.

Kejengkelan muncul saat para bos, mafia-mafia besar justru nyaris
tidak tersentuh hukum. Gayus lantas bermanuver, bernyanyi. Banyak
pihak ikut menabuh gendang untuk menggiringnya. Banyak pihak ikut bising
mendengarnya.

Saat nyanyian tidak lagi merdu, Gayus bagai pion yang digerakkan
untuk menjepit raja para lawan. Gerakan pion hanyalah bagian kecil dari
manuver untuk langkah utama, skakmat! Orang tidak peduli jika pion
akhirnya tersungkur dari papan catur.

Gayus, adik kelasku! Hadapilah sidang dengan hati baja. Ketakutan
adalah hal wajar. Maka, berjalanlah hingga ujung papan catur. Ubah
dirimu. Berhentilah jadi pion. Walaupun, tidak mungkin jadi raja.
Bahkan, keadilan mungkin tidak berpihak kepadamu. Mungkin para raja,
menteri dan lainnya melenggang dengan tidak tersentuh hukum. Biarlah
Tuhan yang menghukum mereka. Kelak ada hikmah dari semua masalah itu.

Apa yang terjadi kepadamu bukanlah cobaan Tuhan. Sebab, itu berawal
dari kesalahan kita. Meskipun kini engkau merasa menjadi kambing hitam.

Jika saya boleh memberikan nasihat, ceritakanlah kepada dunia
setelanjang mungkin. Mengapa terjerembap dalam mafia pajak. Bagaimana
caranya, metodenya, siapa saja teman-temannya. Dengan demikian, hal
tersebut jadi bahan pembelajaran bagi aparat hukum, adik-adik kelas kita
sealmamater, serta pegawai-pegawai pajak yang baru berkarir. Adakalnya
kita terpeleset karena kebegoan kita. Tapi, juga selalu ada kesempatan
untuk kembali bangkit.

Dicuplik dari Harian Jawa Pos, tgl. 21 Nopember 2010

http://endropedia.blogdetik.com/2010/11/24/untuk-adik-kelasku-gayus/

Kamis, 09 Desember 2010

Rudy Hartono : Saya mau satu angka lagi

Kali ini saya ingin share soal Rudy Hartono..Juara All England sebanyak 8 kali. Berikut ini adalah cerita yang pernah diceritakan pada saya beberapa waktu yang lalu :

"Pada suatu kejuaraan All England, Rudy Hartono berhadapan dengan Sture johnson, Juara Eropa asal Swedia, Situasi benar benar kritis, Pada Set pertama Sture Johnson unggul 15 - 4 dan set kedua ia sudah unggul 14 - 0 . Semua pendengar RRI dan pemirsa TVRI benar benar terhenyak, satu angka lagi tamatlah Rudy Hartono.
Alhamdulillah, teriak penyiar RRI, Shutelcock berpindah ke tangan Rudy. "Aku Ingin Satu Angka Saja" kata Rudy ketika Memulai Service, ternyata 1 - 14 . "Aku Ingin Satu Angka Lagi" , dan terjadilah 2 - 14 . Akhirnya 14 - 14 dan Rudy mengakhiri set kedua dengan 17 - 14 . Sture Johnson benar - benar heran, Penonton INDONESIA riuh Rendah. Set ketiga, Rudy lagi - lagi menyatakan , "Aku ingin satu angka lagi....Aku ingin satu angka lagi". Dan set ketiga berakhir dengan 15 - 0 untuk Rudy Hartono. Ia pun maju ke final melawan Finalis dari Denmark, Svend Pri"

Dari cerita di atas ada beberapa hal yang ingin saya share :
1. Jangan pernah menyerah.
Seperti halnya Rudy Hartono, meskipun kita nampaknya sulit meraih cita-cita tetapi teruslah berjuang dan berjuang, sebab sebelum mencapai cita-cita maka itu tandanya masih ada peluang untuk meraih cita-cita. Selama masih ada kesempatan berarti masih bisa berhasil.

2. Kesuksesan itu diraih setahap demi setahap
Tidak ada kesuksesan yang datang tanpa didahului kesuksesan yang lain. Contohnya : kita harus lulus jenjang SD dahulu sebelum bisa ke SMP, dan lulus SMP untuk bisa ke SMA, dst. Jadi tetaplah tekun untuk raih cita-cita.

Nikmati kopinya..bukan Cangkirnya.....

Sekelompok alumni satu universitas yang telah mapan dalam karir masing-masing berkumpul dan mendatangi professor kampus mereka yang telah tua. Percakapan segera terjadi dan mengarah pada keluhan tentang stress di pekerjaan dan kehidupan mereka.

Menawari tamu-tamunya kopi, professor pergi ke dapur dan kembali dengan porsi besar berisi kopi dan cangkir berbagai jenis dari porselin, plastic, gelas kristal, gelas biasa, beberapa di antaranya gelas mahal dan beberapa lainnya sangat indah, dan mengatakan pada para mantan mahasiswanya untuk menuang sendiri kopinya.

Setelah semua mahasiswanya mendapat secangkir kopi di tangan, professor itu mengatakan: "Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang indah dan mahal telah diambil, yang tertinggal hanyalah gelas biasa dan murah saja. Meskipun normal bagi kalian untuk mengingini hanya yang terbaik bagi diri kalian, tapi sebenarnya itulah yang menjadi sumber masalah dan stress yang kalian alami."

Pastikan bahwa cangkir itu sendiri tidak mempengaruhi kualitas kopi. Dalam banyak kasus, itu hanya lebih mahal dan dalam beberapa kasus, bahkan menyembunyikan apa yang kita minum. Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah kopi, bukan cangkirnya, namun kalian secara sadar mengambil cangkir terbaik dan kemudian mulai memperhatikan cangkir orang lain. Sekarang perhatikan hal ini: hati kita bagai kopi, sedangkan pekerjaan, uang dan posisi adalah cangkirnya. Sering kali karena berkonsentrasi hanya pada cangkir, kita gagal untuk menikmati kopi yang ALLAH sediakan bagi kita.

Kehidupan yang sesungguhnya adalah hati anda. Apakah anda merasa bahagia dan damai? Apakah anda mencintai dan dicintai oleh keluarga, saudara dan teman-teman anda? Apakah anda tidak berpikir buruk tentang orang lain dan tidak gampang marah? Apakah anda sabar, murah hati, bersuka cita karena kebenaran, sopan dan tidak egois?

Hanya hati anda dan ALLAH yang tahu. Namun bila anda ingin menikmati kopi dan bukan cangkirnya, hal-hal yang tidak semarak ini harus lebih mengendalikan anda ketimbang hal-hal semarak seperti pekerjaan, uang dan posisi anda...

Barakallah Fiikum...

(Dari kutipan buku pinjaman si Mbah)

Pramono Dewo