Kamis, 30 Desember 2010

UNTUK ADIK KELASKU, GAYUS


(dikutip dari milis sebelah, semoga ada manfaatnya untuk kita semua, barakallah fiikum....Wassslm. Pramono Dewo)

UNTUK ADIK KELASKU, GAYUS
Oleh HERI PRABOWO
(Alumnus STAN 1996, penulis buku Catatan Harian Seorang Mafia Pajak)

Ada anekdot yang beredar saat reuni akbar Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara (STAN-Prodip) pada Oktober 2010. Yakni, anekdot tentang pemberian
award untuk sejumlah alumnus dengan berbagai kategori.
Kategori tersukses jatuh kepada Hadi Purnomo, Ketua BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan). Kategori karir tercepat diperuntukkan Haryono Umar, wakil
ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kategori terkontroversial
jatuh kepada M. Misbakhun, anggota DPR, inisiator hak angket Bank
Century yang akhirnya jadi tersangka kasus yang sama. Sedangkan kategori
terpopuler dipegang Gayus Tambunan. Dia menyingkarkan Helmi Yahya yang
jadi selebriti top. Gayus bahkan lebih populer daripada bosnya, M.
Tjiptardjo, Dirjen Pajak yang juga alumnus STAN.

Memiliki sejumlah kesamaan dengan tokoh populer ternyata cukup
menggelitik hati saya. Ada beberapa kesamaan saya dengan Gayus.
Sama-sama alumnus STAN-Prodip yang lantas terjerembap mafia pajak dan
berujung menghadapi proses hukum. Di usia yang sama, 30 tahun. Usia yang
seharusnya kita mulai untuk menapak puncak karir, tapi justru kami
terperosok dalam.

Saya tidak seberuntung Gayus, yang masih kaya walau hartanya Rp 100
miliar disita. Tapi Gayus juga tidak seberuntung saya. Dia bersusah
payah merintis karir di luar Jawa, sedangkan saya sejak awal ditempatkan
di kota besar (Surabaya).

Muda, berduit dan berkuasa. Itulah gambaran untuk kami, para mafia pajak. Meski hanya pegawai rendahan, toh
kami berperan besar atas urusan pajak sejumlah perusahaan. Sebab, kami
punya lobi. Bisa dibayangkan betapa kami sering memandang kecil sebuah
masalah. Sembrono dan ugal-ugalan. Bahkan saat kami telah ditahan, saya
ikut mencicipi fasilitas lebih di tahanan. Walau tidak seekslusif Tante
Ayin (Artalyta Suryani) dan kawan kawan, fasilitas itu juga dinikmati
pejabat tinggi, politisi, dan orang-orang kaya yang ditahan disana. Saya
berbangga. Saya bisa selevel dengan mereka. Kebanggaan yang semu di
tengah hujan cercaan.

Tidak heran Gayus dengan enteng keluar masuk rutan. Toh,
tahanan lain yang jabatannya jauh di atasnya melakukan hal serupa. Saya
yakin bahwa Gayus pun bangga melakukannya. Padahal, dia bukan mereka.
Uang boleh sama, tapi mereka cerdik, berpengalaman dan punya network luas. Gayus boleh bernyanyi, tapi mereka sekejap tiarap, lalu tertawa lagi.

Dengan latar belakang kurang beruntung secara ekonomi dan broken home,
Gayus telah berjuang untuk menjadi bernilai lebih. Tidak mudah bisa
duduk jadi mahasiswa STAN. Tidak mudah juga bisa lulus. Sebab, berlaku
sistem DO (dropout) yang ketat.

Kampus dipenuhi mahasiswa dari golongan menengah ke bawah. Kebanyakan
di antara mereka berasal dari desa-desa. Kesederhanaan selalu tampak.
Jangan heran jika ada seorang asisten dosen berangkat ke kampus dengan
naik sepeda mini yang juga cocok untuk anaknya. Kampus juga menjunjung
tinggi nilai-nilai kejujuran dan religiusitas. Masjid-masjid tidak hanya
dipenuhi mahasiswa sejak azan Subuh berkumandang. Tempat itu juga
dimakmurkan oleh berbagai kegiatan agama. Mulai mengajar TPA (taman
pendidikan Alquran) hingga diskusi keagamaan, semuanya dimotori
mahasiswa STAN. Lalu kenapa saya dan Gayus bisa lahir? Lalu, mengapa
kami bisa jadi pecinta kemewahan?

Pengaruh dimulai saat bertemu dengan para senior yang telah bekerja. Bertemu dengan rekan kerja dan atasan saat bekerja. Dengan gambling,
mereka gambarkan tempat basah dan tempat kering. Dengan nyata, mereka
jadi orang kaya baru. Semua terjadi begitu terbuka dan aman-aman saja.
Hanya segelintir yang bisa bertahan dengan idealisme masing-masing.
Sisanya lagi miskin karena tidak memeperoleh kesempatan.

Saat lulus STAN pada 2000, Gayus berjibaku di lahan kering Kalimantan. Setiap mudik ke Jakarta, dia dan rekan-rekan lain ngiler
kala melihat teman-teman seangkatannya begitu makmur. Membeli mobil
seperti membeli gorengan. Jakarta adalah surga para mafia pajak.
Perusahaan besar walau berkantor di daerah harus melaporkan pajak ke
Jakarta. Besarnya putaran uang berbanding lurus dengan gemuknya gurita
korupsi.

Maka, saat bertugas di Jakarta, Gayus tidak menyia-nyiakan
kesempatan. Gayus hanya mencontoh apa yang dilihat sehari-hari di
kantornya. Dia beruntung. Puluhan miliar rupiah dia kumpulkan dalam
sekejap. Keserakahan yang ada dalam diri manusia pada umumnya, tapi
tidak manusiawi.

Gayus pasti juga mendengar gosip yang pernah saya dengar. Yakni,
sejumlah pejabat pajak pernah diperiksa karena menerima aliran dana
tidak wajar di rekening dan umumnya mereka aman-aman saja. Maka, wajar
Gayus percaya diri. Tapi, takdir bicara lain. Dia diadili lagi dengan
tumpukan dakwaan, Seakan hanya dialah mafia pajak di negeri ini.

Pada masa genderang perang melawan korupsi ditabuh siapa pun,
termasuk para mafia hukum dan koruptor, wajar tekanan media menghantam.
Wajar olok-olok sarkastis menghajar bukan hanya kami, tapi juga
keluarga. Bahkan, anak-anak yang masih suci. Stres sehingga berujung
linangan air mata.

Kejengkelan muncul saat para bos, mafia-mafia besar justru nyaris
tidak tersentuh hukum. Gayus lantas bermanuver, bernyanyi. Banyak
pihak ikut menabuh gendang untuk menggiringnya. Banyak pihak ikut bising
mendengarnya.

Saat nyanyian tidak lagi merdu, Gayus bagai pion yang digerakkan
untuk menjepit raja para lawan. Gerakan pion hanyalah bagian kecil dari
manuver untuk langkah utama, skakmat! Orang tidak peduli jika pion
akhirnya tersungkur dari papan catur.

Gayus, adik kelasku! Hadapilah sidang dengan hati baja. Ketakutan
adalah hal wajar. Maka, berjalanlah hingga ujung papan catur. Ubah
dirimu. Berhentilah jadi pion. Walaupun, tidak mungkin jadi raja.
Bahkan, keadilan mungkin tidak berpihak kepadamu. Mungkin para raja,
menteri dan lainnya melenggang dengan tidak tersentuh hukum. Biarlah
Tuhan yang menghukum mereka. Kelak ada hikmah dari semua masalah itu.

Apa yang terjadi kepadamu bukanlah cobaan Tuhan. Sebab, itu berawal
dari kesalahan kita. Meskipun kini engkau merasa menjadi kambing hitam.

Jika saya boleh memberikan nasihat, ceritakanlah kepada dunia
setelanjang mungkin. Mengapa terjerembap dalam mafia pajak. Bagaimana
caranya, metodenya, siapa saja teman-temannya. Dengan demikian, hal
tersebut jadi bahan pembelajaran bagi aparat hukum, adik-adik kelas kita
sealmamater, serta pegawai-pegawai pajak yang baru berkarir. Adakalnya
kita terpeleset karena kebegoan kita. Tapi, juga selalu ada kesempatan
untuk kembali bangkit.

Dicuplik dari Harian Jawa Pos, tgl. 21 Nopember 2010

http://endropedia.blogdetik.com/2010/11/24/untuk-adik-kelasku-gayus/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar